Geliat Ahmadiyah di Indonesia

. Jumat, 18 April 2008
  • Agregar a Technorati
  • Agregar a Del.icio.us
  • Agregar a DiggIt!
  • Agregar a Yahoo!
  • Agregar a Google
  • Agregar a Meneame
  • Agregar a Furl
  • Agregar a Reddit
  • Agregar a Magnolia
  • Agregar a Blinklist
  • Agregar a Blogmarks

Mirza Ghulam Ahmad.

Belum seleasi satu masalah, timbul lagi yang baru, tumbuh lagi yang lain, muncul lagi dan muncul terus. Itulah fenoma baru yang terjadi berkenaan dengan perkembangan pemaknaan dan penafsiran religius di Indonesia belakangan ini. Yang satu ini sangat gigih bertahan perkembangannya di Indonesia, meski terhitung sudah lama masuk di Indonesia, kurang lebih tahun 1920-an. Namun hingga detik ini belum juga mendapat tempat di hati masyarakat muslim Indonesia pada umumnya.

Ahmadiyah, bagaimana sejarah dan sepak terjangnya di Indonesia, berikut adalah bebrapa cuplikan yang diambil dari beberapa nara sumber.

Ahmadiyah adalah konsepsi kelompok yang mengkultuskan Mirza Ghulam Ahmad sebagai rasul, al-Masih, dan al-Mahdi dengan mencatut Islam sebagai agamanya. Ini artinya Ahmadiyah bersifat parsial. Konsepsi Ahmadiyah ini tentu bertentangan dengan aqidah Islam.
Mengapa kita harus terjerumus ke dalam doktrin yang mengkultuskan individu tertentu?
Tidak ada satu dalilpun yang memungkinkan seorang Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Masih Mau'ud.

Ahmadiyah di Indonesia pernah mendapat ijin legal dari pemerintah sebagai organisasi sosial. Pada tahun 1953 mereka mendapat legalitas sebagai badan hukum. Pada tahun 2003 mereka mendapat ijin sebagai organisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75//D.I./VI/2003.

Namun ijin sebagai organisasi kemasyarakatan itu tidak mengurangi niat kaum muslim lain untuk memerangi Ahmadiyah. Apalagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mengeluarkan fatwa sesat untuk aliran Ahmadiyah Qadian yang berkembang di Indonesia pada tahun 1980. Fatwa tersebut dipertegas dengan surat edaran dari Departemen Agama tahun 1984 yang mempertegas pelarangan ajaran Ahmadiyah. Fatwa sesat dan surat edaran ini tidak membuat Ahmadiyah menghentikan kegiatannya. Namun, dipicu oleh fatwa MUI, pertentangan antara Ahmadiyah dengan kaum muslim menjadi laten. Buntutnya adalah insiden kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di beberapa daerah pada periode awal tahun 2000-an ini.

Usai peristiwa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Parung, Bogor, MUI kembali mengeluarkan fatwa sesat dan haram bagi Ahmadiyah dalam Musyawarah Nasional MUI ke-7. Ada kemungkinan kuat bahwa munculnya fatwa sesat MUI terhadap Ahmadiyah untuk yang kedua kalinya ini akan semakin menguatkan sentimen anti Ahmadiyah di kalangan muslim mayoritas, terutama di kalangan Islam fanatik. Di pihak lain, Ahmadiyah sendiri sebagai suatu aliran dan organisasi yang telah memiliki sejarah panjang juga tidak akan mudah tunduk untuk menggadaikan persoalan-persoalan keyakinan mereka.

Yang kemudian menjadi penting adalah meletakkan konflik maupun perdebatan soal kepercayaan ini dalam wadah dialog yang emansipatoris. Pihak MUI sendiri bahkan sudah mengatakan tidak menyetujui penggunaan cara-cara kekerasan dalam penolakan terhadap Ahmadiyah. "Kita tidak mendukung bila penolakan Ahmadiyah dengan cara anarkis," ujar Umar Shihab, salah satu Ketua MUI, di sela-sela Munas MUI ke-7 di Jakarta.

Beberapa tokoh, Komnas HAM, dan lembaga swadaya masyarakat juga mengecam penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah. Penyerangan yang diwarnai kekerasan itu, menurut Dawam Raharjo, merupakan bentuk teror yang sesungguhnya. “Padahal aksi pembom J.W Marriott saja dilakukan diam-diam” ujarnya.

Untuk menyikapi perkembangan lebih lanjut, pemerintah harus bersikap arif dan adil. Meski sudah ada fatwa dari MUI, sampai saat ini pemerintah belum bertindak untuk melarang Ahmadiyah, mengingat pelarangan semacam itu bisa menimbulkan kecaman sebagai tindakan yang melanggar hak azasi manusia. Jadi yang penting dilakukan pemerintah adalah mengendalikan arogansi pihak-pihak yang ingin memberikan penolakan terhadap Ahmadiyah dengan cara-cara kekerasan. Mekanisme dialog yang terbuka bagi publik akan lebih beradab dari pada bersikeras pada keyakinan dengan cara-cara kekerasan. Bagaimana pun setiap pihak bertanggung jawab supaya jangan sampai muncul lagi konflik kekerasan agama yang menimbulkan korban jiwa sebagaimana pernah terjadi di Maluku atau Poso.

Harapannya, semoga kita bisa belajar dari sejarah untuk bisa lebih arif dalam mengambil tindakan penyelesaian berkenaan dengan aktivitas Ahmadiyah di Indonesia.

0 komentar: